Sejarah Bank Syariah Di Indonesia
Sejarah bank syariah di Indonesia sanggup kita telusuri kehadirannya dengan merunut aturan atau regulasi yang berkaitan dengan perbankan di Indonesia. Kemunculan bank syariah sebagai salah satu tubuh perjuangan di bidang keuangan tentunya berkaitan dengan perjalanan regulasi perbankan sebagai landasan aturan dalam menjalankan usahanya tersebut.
(Baca pula: Pengertian Ekonomi Syariah dan Sejarah, Fungsi, dan Jenis-Jenis Bank)
Kehadiran pertama bank syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1991 dan mulai beroperasi penuh tahun 1992. Untuk mengetahui runutan sejarah sampai kehadiran sejumlah bank syariah di Indonesia sanggup diuraikan sebagai berikut :
Kehadiran pertama bank syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1991 dan mulai beroperasi penuh tahun 1992. Untuk mengetahui runutan sejarah sampai kehadiran sejumlah bank syariah di Indonesia sanggup diuraikan sebagai berikut :
Tahun 1967-1983
Lahirnya Regulasi Perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 perihal Pokok-Pokok Perbankan. Dalam pasal 13 aksara c diterangkan bahwa dalam perjuangan bank di dalam operasinya memakai sistem kredit dan mustahil melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini alasannya konsep bunga ini menempel dalam pengertian kredit itu sendiri. Lalu periode tahun 1980an terjadi kesulitan pengendalian tingkat bunga oleh Pemerintah alasannya Bank-Bank yang telah didirikan sangat tergantung kepada tersedianya likuiditas Bank Indonesia sehingga Pemerintah mengeluarkan Deregulasi 1 Juni 1983 yang membuka belenggu tingkat bunga ini. Deregulasi ini menimbulkan kemungkinan bagi Bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0% yang merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni sesuai prinsip bagi hasil.
Tahun 1988
Terhitung semenjak adanya deregulasi 1 Juni 1983, lima tahun kemudian yakni pada tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis di bidang perbankan seluas-luasnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Maka pada tanggal 27 Oktober 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) yang berisi perihal liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank gres selain bank yang telah ada. Pada periode ini, dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah. Kemudian Majelis Ulama Indonesia melangsungkan Musyawarah Nasional IV pada tahun 1990 dimana hasil Munas tersebut mengamanatkan untuk membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.
Tahun 1991 - kini
Tahun 1991, Bank Mualamat Indonesia kemudian lahir sebagai kerja tim perbankan MUI tersebut dan mulai beroperasi penuh setahun kemudian. Pada periode ini, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 perihal Perbankan yang memperkenalkan sistem perbankan bagi hasil. Dalam pasal 6 aksara (m) dan pasal 13 aksara (c) menyatakan bahwa salah satu perjuangan bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yakni menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketentuan ini menandai dimulainya periode sistem perbankan ganda (dual banking sistem) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan umum dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan tolong-menolong memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Kemudian pada tahun 1998, terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 perihal Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan itu semakin mendorong berkembangnya keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang ini, Bank Umum Umum diperbolehkan untuk melaksanakan acara perjuangan berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Bank umum sanggup menentukan untuk melaksanakan acara perjuangan berdasarkan sistem umum atau berdasarkan prinsip syariah atau melaksanakan kedua acara tersebut. Sehingga kemudian tahun 2008, keluarlah UU No. 21 Tahun 2008 perihal Perbankan Syariah yang melengkapi minimnya regulasi perbankan syariah selama ini.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 mengatur beberapa ketentuan gres di bidang perbankan syariah, antara lain otoritas aliran dan komite perbankan syariah, training dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), persoalan pajak, penyelesaian sengketa perbankan, dan konversi unit perjuangan syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS). Lalu Undang-undang ini mengatakan keleluasaan dalam pengembangan perbankan syariah sehingga memberi peluang besar ke depannya. Keleluasaan itu antar lain yakni : Pertama, Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak sanggup dikonversi menjadi Bank Umum. Sedangkan Bank Umum sanggup dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7). Kedua, bila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2). Ketiga, bank umum umum yang mempunyai Unit Usaha Syariah (UUS) harus melaksanakan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1), UUS mencapai asset paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya; atau 15 tahun semenjak berlakunya UU Perbankan Syariah.
Lalu banyak acara perjuangan yang tidak sanggup dilakukan oleh jenis bank umum namun sanggup dilakukan oleh BUS. Di antaranya, bank syariah sanggup menjamin penerbitan surat berharga, penitipan untuk kepentingan orang lain, menjadi wali amanat, penyertaan modal, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun juga menerbitkan, memperlihatkan serta memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah. Dan kemudian perbankan syariah sanggup menjalankan layanan yang sifatnya sosial. Misalnya menyelenggarakan forum baitul mal yang bergerak mendapatkan dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya kemudian menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat
Sejarah bank syariah di Indonesia, pertama kali dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta menerima pinjaman dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada ketika krisis moneter yang terjadi pada selesai tahun 1990, bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian mengatakan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 sanggup bangun dan menghasilkan laba.
Lahirnya Regulasi Perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 perihal Pokok-Pokok Perbankan. Dalam pasal 13 aksara c diterangkan bahwa dalam perjuangan bank di dalam operasinya memakai sistem kredit dan mustahil melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini alasannya konsep bunga ini menempel dalam pengertian kredit itu sendiri. Lalu periode tahun 1980an terjadi kesulitan pengendalian tingkat bunga oleh Pemerintah alasannya Bank-Bank yang telah didirikan sangat tergantung kepada tersedianya likuiditas Bank Indonesia sehingga Pemerintah mengeluarkan Deregulasi 1 Juni 1983 yang membuka belenggu tingkat bunga ini. Deregulasi ini menimbulkan kemungkinan bagi Bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0% yang merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni sesuai prinsip bagi hasil.
Tahun 1988
Terhitung semenjak adanya deregulasi 1 Juni 1983, lima tahun kemudian yakni pada tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis di bidang perbankan seluas-luasnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Maka pada tanggal 27 Oktober 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) yang berisi perihal liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank gres selain bank yang telah ada. Pada periode ini, dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah. Kemudian Majelis Ulama Indonesia melangsungkan Musyawarah Nasional IV pada tahun 1990 dimana hasil Munas tersebut mengamanatkan untuk membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.
Tahun 1991 - kini
Tahun 1991, Bank Mualamat Indonesia kemudian lahir sebagai kerja tim perbankan MUI tersebut dan mulai beroperasi penuh setahun kemudian. Pada periode ini, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 perihal Perbankan yang memperkenalkan sistem perbankan bagi hasil. Dalam pasal 6 aksara (m) dan pasal 13 aksara (c) menyatakan bahwa salah satu perjuangan bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yakni menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketentuan ini menandai dimulainya periode sistem perbankan ganda (dual banking sistem) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan umum dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan tolong-menolong memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Kemudian pada tahun 1998, terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 perihal Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan itu semakin mendorong berkembangnya keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang ini, Bank Umum Umum diperbolehkan untuk melaksanakan acara perjuangan berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Bank umum sanggup menentukan untuk melaksanakan acara perjuangan berdasarkan sistem umum atau berdasarkan prinsip syariah atau melaksanakan kedua acara tersebut. Sehingga kemudian tahun 2008, keluarlah UU No. 21 Tahun 2008 perihal Perbankan Syariah yang melengkapi minimnya regulasi perbankan syariah selama ini.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 mengatur beberapa ketentuan gres di bidang perbankan syariah, antara lain otoritas aliran dan komite perbankan syariah, training dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), persoalan pajak, penyelesaian sengketa perbankan, dan konversi unit perjuangan syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS). Lalu Undang-undang ini mengatakan keleluasaan dalam pengembangan perbankan syariah sehingga memberi peluang besar ke depannya. Keleluasaan itu antar lain yakni : Pertama, Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak sanggup dikonversi menjadi Bank Umum. Sedangkan Bank Umum sanggup dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7). Kedua, bila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2). Ketiga, bank umum umum yang mempunyai Unit Usaha Syariah (UUS) harus melaksanakan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1), UUS mencapai asset paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya; atau 15 tahun semenjak berlakunya UU Perbankan Syariah.
Lalu banyak acara perjuangan yang tidak sanggup dilakukan oleh jenis bank umum namun sanggup dilakukan oleh BUS. Di antaranya, bank syariah sanggup menjamin penerbitan surat berharga, penitipan untuk kepentingan orang lain, menjadi wali amanat, penyertaan modal, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun juga menerbitkan, memperlihatkan serta memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah. Dan kemudian perbankan syariah sanggup menjalankan layanan yang sifatnya sosial. Misalnya menyelenggarakan forum baitul mal yang bergerak mendapatkan dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya kemudian menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat
Sejarah bank syariah di Indonesia, pertama kali dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta menerima pinjaman dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada ketika krisis moneter yang terjadi pada selesai tahun 1990, bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian mengatakan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 sanggup bangun dan menghasilkan laba.
Sampai tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah mempunyai unit perjuangan syariah yakni 19 bank diantaranya merupakan bank besar menyerupai Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).
Demikian klarifikasi mengenai sejarah bank syariah di Indonesia. Penjelasan ini kami sadari masih cukup ringkas dan jikalau ada yang perlu dikoreksi mohon sarannya melalui komentar. Terimakasih atas kunjungannya di blog ini.
Demikian klarifikasi mengenai sejarah bank syariah di Indonesia. Penjelasan ini kami sadari masih cukup ringkas dan jikalau ada yang perlu dikoreksi mohon sarannya melalui komentar. Terimakasih atas kunjungannya di blog ini.
0 Response to "Sejarah Bank Syariah Di Indonesia"
Post a Comment